Jumat, 21 November 2014

Masjid ber-AC



Bagi orang supersize seperti saya, adalah suatu berkah jika badan mudah berkeringat karena itu berarti pembakaran kalori berjalan baik. Namun adakalanya hal itu jadi sesuatu yang mengganggu, seperti saat shalat karena badan terasa kurang nyaman. Sering saya menghibur diri sendiri, dengan menganggap banyaknya keringat saat shalat adalah ujian Allah agar dosa saya berkurang.

Namun ada dua kejadian yang menjadikan urusan keringat itu jadi penambah ibroh kehidupan, minimal untuk saya sendiri.

Alkisah, sekitar pertengahan bulan Oktober 2011, dalam kondisi cuaca yang gerah karena hujan hendak turun, saya sedang dalam perjalanan dari sekitar Waru menuju  Dinoyo. Saat itu sekitar jam 3 sore, sesaat sebelum adzan Asar berkumandang.  Cuaca sedang gerah-gerahnya. Keringat seperti lahar dingin saja mengalir di sekujur tubuh. Very inconvenience!
Adzan sudah berkumandang. Saya masih menyetir, sambil berpikir untuk mencari masjid yang ada AC-nya. Saya pikir tidak ada salahnya mencari masjid yang ber-AC agar shalat saya khusuk tidak terganggu keringat yang deras mengucur. Sempat muncul rasa bersalah, karena hal itu berarti saya membuang beberapa saat dan tidak mencari masjid terdekat, agar tidak tertinggal takbiratul ihram. “Kalaupun tertinggal, tidak lama-lama amat”, kata batin saya. Pikiran mencari masjid yang sejuk benar-benar mengalahkan niat mencari keutamaan shaf awal shalat jamaah. “Ah, sekali ini tidak mengapa shalat telat, asal sejuk”, pikir saya lagi, mencari pembenaran. Saya pun melewatkan beberapa masjid yang bersahut-sahutan mengumandangkan adzan, bahkan beberapa sudah iqamah, untuk mencari masjid yang ada AC-nya!

Akhirnya saya sampai di masjid sebuah komplek sekolah Islam di kawasan Gayungsari, yang setahu saya ber-AC. Iqamah sudah sekian menit lalu, artinya saya sudah ketinggalan shalat jamaah cukup lama. Betul saja, setelah wudhu dan masuk masjid ternyata saya berada di shaf keenam, dan tinggal rakaa’at terakhir! Agak menyesal juga hati kecil saya, karena jika tadi saya memilih masjid lain sebelum masjid ini, insya Allah saya mendapat shaf lebih awal. “Tapi tak masalah, toh saya menemukan masjid adem ini,” begitu pikir saya.
Adem? Wait a minute. “Sudah jalan dua raka’at kok keringat malah tambah deras mengucur?”, pikir saya heran. Sampai akhirnya saat salam saya melihat banyak jamaah menoleh ke kiri kanan arah atas, melihat AC. Ternyata mati! Pantas saja rasanya menyiksa, lha wong ruangan tertutup rapat dengan AC mati. Sama saja sauna!
Pikiran saya langsung flashback ke beberapa saat lalu, ketika niat saya mencari pahala shalat di awal waktu terkalahkan oleh keinginan mencari masjid adem. Ternyata beginilah cara Allah menegur saya. Dengan mematikan AC masjid incaran saya! Malu, kecut, sumuk, bercampur aduk jadi satu di badan dan hati saya. Bergegas saya keluar masjid, tanpa sempat menyelesaikan dzikir. Soalnya masjid makin pengap dan panas!

Saya mendapati kejadian vice versa alias berkebalikan pada hari Jumat terakhir tahun 2011. Dalam situasi yang hampir mirip, hanya bedanya saat itu menjelang shalat Jumat.  Cuaca menjelang hujan, udara lembab dan alhasil badan pun mulai bereaksi untuk memompa bulir keringat melalui pori-pori kulit. Gerah!

Saya sedang berkendara menuju kantor ketika beberapa masjid sudah mengumandangkan tilawah alias beberapa menit lagi masuk waktu shalat Jumat. Kali ini, entah karena iman sedang di level tinggi atau memang hati sedang mood, saya tidak berpikir lama dan segera mencari masjid terdekat untuk mengejar shaf pertama. Ber-AC atau tidak masjidnya, saya tidak ambil pusing. Pokoknya shaf pertama! Saya pun ingat sabda Rasulullah, pahala shaf pertama itu seperti mendapat hadiah unta. Shaf kedua mendapat kambing, shaf ketiga ayam, shat keempat telur. Entah apa yang didapat penghuni shaf kelima dan seterusnya.
Alhamdulillah, sebelum adzan berkumandang saya sudah masuk ke sebuah masjid di kawasan Ketintang. Dulu saya pernah shalat di masjid ini, dan setahu saya tidak ada sesuatu yang spesial dari masjid ini kecuali saya kenal beberapa ustadz penceramah rutinnya. Ber-AC? Rasanya tidak. “Masa bodo, pokoknya shaf pertama. Hidup shaf pertama, merdeka!”, kata batin saya yang entah kenapa saat itu sedang dalam kondisi semangat 45.
Saya segera berwudhu dan bergegas masuk masjid. Dapat shaf pertama. Alhamdulillah, mission accomplished. Setelah menaruh “amunisi” yaitu tas berisi laptop, saya langsung menunaikan shalat tahiyatul masjid. Mulanya saya tidak merasakan ada yang aneh dari suasana masjid ini, tapi ketika saya sujud barulah saya menyadari lantai masjid ini dingin sekali. Ternyata masjid ini sekarang ber-AC!

“Rabb, bukan AC yang aku cari, aku hanya ingin shaf pertama. Tapi ternyata “bonus” ini Engkau berikan, alhamdulillah”, hati saya berkata lirih.

Saat itulah ingatan saya melayang ke peristiwa yang sudah saya ceritakan di atas. Hanya saja sekarang saya mendapati situasi berbeda. Mengejar shaf pertama, ternyata mendapati masjid adem. Subhanallah! Dan ternyata bukan hanya itu bonusnya. Entah karena memang kebiasaan yang jarang saya dengar, atau kebetulan sedang punya ide nyleneh, salah satu pengurus masjid memberikan pengumuman sebelum khotbah yang agak di luar kebiasaan. Jika masjid lain mengingatkan masalah shaf pertama, himbauan mematikan handphone, jumlah infaq dan lain-lain, maka si Bapak secara khusus mengumumkan tentang shaf pertama, komplit dengan penjelasannya. Si Bapak sepuh itu bahkan mendoakan supaya para penghuni shaf awal bisa istiqomah datang di awal waktu pada Jumat-jumat berikutnya, serta agar bisa menjadi contoh untuk jamaah lain. “Wah, ngenyek tenan si Bapak iki”, gumam hati saya setengah kecut setengah senang karena didoakan. Asli, itulah pengumuman sebelum khotbah paling weird alias aneh bin ajaib yang pernah saya dengarkan. Sampai waktunya shalat ditunaikan, saya masih merasa malu bercampur senang dengan kejadian yang baru saya alami. Tak terasa setetes air menitik dari sudut mata saat sujud saya tunaikan. “Duh Gusti, begini caranya Engkau menyayangiku”, batin saya bergumam. Dan ajaibnya, saya seolah merasakan Allah sedang dekat sekali dengan saya. Seakan Dia sedang mengajari, agar saya selalu memprioritaskan Dia dalam urusan apapun, dan Dia Maha Tahu apa kebutuhan saya.

Gusti, Panjenengan saestu mboten sare”, batin saya kembali berucap, sambil menstarter kendaraan, kembali menjalani kesibukan di tengah cuaca Surabaya yang gerah.